Analisa
Global Value Chain merupakan alat analisis yang
fokus pada dinamisasi hubungan antara aktor dalam proses produksi,
terutama melihat pada bagaimana aktor perusahaan dan negara terintegrasi
secara global (Kaplinsky & Morris, 2000, hal. 2). Alat analisa ini
dipilih untuk menjelaskan proses kemajuan industrialisasi Korea Selatan
karena industri otomotif merupakan industri yang memiliki keterkaitan
dengan banyak industri lain. GVC meletakkan fokus analisa ke berbagai
actor baik dalam dan luar negeri sehingga peserta dapat memahami sejarah
dan proses manufaktur dari Hyundai yang dikenal masyarakat menjadi satu
rangkaian mobil seperti yang kita lihat di jalan di sekitar kita.
Dengan
Global Value Chain, kita dimungkinkan untuk mengamati bagaimana konsep
Rent, Governance dan Upgrading tercermin di kebijakan-kebijakan pemerintah Korea Selatan.
Rent terlihat jelas dalam
financial aid, kebijakan berorientasi ekspor, pembatasan impor dan kontrol investasi asing.
Komponen GVC yang kedua ialah
Governance, dalam hal ini
merupakan pola hubungan yang terjadi dalam proses kemajuan industri
Korea Selatan. Di sini mekanisme pasar dan peran pemerintah memegang
peran penting dalam tata kelola sistem produksi. Terdapat urutan
perimbangan kekuasaan dalam Governance. Makin besar kekuatan pasar,
makin kecil koordinasi yang terjadi dengan pemerintah. Sebaliknya, makin
bersifat hierarki, makin kuat koordinasi maka makin kuat pula peran
pemerintah.
Yang ketiga adalah
Upgrading, merupakan usaha yang dilakukan
pelaku bisnis lokal untuk meningkatkan kualitas produksi dan efisiensi.
Ada berbagai macam Upgrading, yaitu
process upgrading; peningkatan efisiensi proses produksi,
product upgrading; memperkenalkan produk baru atau peningkatan dari produk yang sudah ada,
functional upgrading; perluasan aktivitas guna menambah nilai tambah, dan
chain upgrading; pindah
ke mata rantai yang lain (Kaplinsky & Morris, 2000, hal. 37-42).
Ada empat tahapan yang dilalui oleh Hyundai sehingga mandiri memproduksi
otomotif. Tahap pertama (1962-1967), memproduksi mobil dengan kandungan
lokal hampir nol, teknologi dan
parts dipasok dengan melakukan
joint venture dan
foreign license. Tahap
kedua (1968-1974), memproduksi Ford Cortina dengan 21 persen kandungan
lokal. Tahap ketiga (1975-1981), Kandungan lokal meningkat hingga
mencapai 85 persen. Tahap keempat (1982-1996), mulai memproduksi mobil
sendiri dengan dukungan
in house R&D, dan mulai mengekspor
Excel ke Amerika. Dari tahapan diatas dapat dilihat bahwa Hyundai
melakukan perluasan aktivitas guna menambah nilai tambah yang merupakan
functional upgrading
, dimana pada awalnya Hyundai hanya menjadi perakit kemudian berkembang
memproduksi mobil sendiri dengan memperluas aktivitas ke pekerjaan
desain dan lain-lain.
Dengan ketiga komponen
Global Value Chain, para peserta
diajak mempelajari proses Hyundai dalam menikmati keuntungan dari
kebijakan pemerintah. Pembangunan infrastruktur dan jaringan komunikasi
adalah dua kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah agar proses produksi
Hyundai menjadi murah dan efisien. Kontrol atas investasi asing dan
pembatasan impor mendorong perkembangan dan kemajuan Hyundai sebagai
produsen otomotif lokal. Masuknya perusahaan Amerika Ford mobil ke Korea
Selatan juga menjadi sarana pertukaran informasi teknologi yang mampu
dimanfaatkan oleh Hyundai.
Dilihat dari bentuk tata kelola industri otomobil yang terjadi, Korea Selatan memiliki pola yang
relational. Pada
awal berdirinya Hyundai, kebijakan pengaturan kandungan lokal 90 persen
dan upaya pemerintah untuk memberdayakan pengusaha lokal menentukan
bentuk tata kelola atau
governance dalam rantai produksi industri otomobil
di
Korea Selatan. Selain itu, kultur pengusaha lokal dalam menjalin
kerjasama bisnis didasarkan atas hubungan kekerabatan yang biasa disebut
chaebol. Kedua hal tersebut mengakibatkan pola
governance yang terjadi dalam proses rantai produksi Hyundai menjadi pola interaksi yang
relational karena didasarkan pada kedekatan sosial. Fasilitas produksi Hyundai dibangun oleh perusahaan konstruksi
chaebol. Mobil produksi Hyundai menggunakan aluminium, cat dan kaca otomotif yang disupply oleh
chaebol dan pengirimannya ke luar negeri dengan menggunakan asuransi perusahaan
chaebol dan
kapal yang dibuat oleh perusahaan kapal milik Hyundai (Green, 1992,
hal. 423). Dengan pola ini, harga produk dapat disesuaikan dengan cara
mengalokasikan dana dari
subsidiaries yang mendapat profit digunakan untuk mensubsidi yang merugi.
Krisis Ekonomi Asia 1997, pola tata kelola atau
governance dalam
proses rantai produksi Hyundai mengalami pergeseran. Krisis memaksa
Hyundai untuk melakukan efisiensi pada proses produksi.melakukan
standardisasi assembly produk sehingga sparepart Hyundai berspesifikasi
umum. Perubahan ini juga berdampak pada governance Korea Selatan yang
sebelumnya berpola hierarki menjadi modular. Bersamaan dengan perubahan
tersebut, otomatis terjadi juga upgrading karena perubahan pola dari
hierarki ke modular menghemat biaya produksi.
Becermin dari proses industrialisasi Korea Selatan, pertanyaan yang
muncul dari peserta ialah bagaimana Indonesia dapat belajar untuk
menciptakan iklim usaha dan produksi dalam negeri yang mendukung seperti
mobil Esemka? Lebih lanjut lagi, bagaimana proses pemasaran yang dapat
dicontoh? Dari dua pertanyaan yang muncul dari peserta diskusi, Alfian
berusaha menjawab dengan format yang sama, yaitu peran pemerintah yang
sangat diperlukan untuk bersaing dengan kompetitor dari luar. Mengambil
contoh Hyundai yang diuntungkan dengan pola hirarki dalam konsep
Governance
dan perumusan kebijakan yang tepat, pemerintah Indonesia dapat belajar
dari tiap konsep yang telah dijelaskan. Harus ada sinergi yang tercipta
antara pemerintah dan pelaku usaha. Dari segi
marketing,
kualitas menjadi poin yang harus dipertimbangkan karena pemasaran secara
global berarti siap dengan kualitas yang bersaing dengan pelaku usaha
otomotif lainnya. Pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah tentang
bantuan terhadap pemerintah Korea Selatan. Sempat terkena krisis yang
parah, negara kecil seperti Korea Selatan yang saat itu baru pulih dari
perang saudara, tentu memerlukan bantuan untuk menghidupkan kembali
industri dalam negeri. Menerima bantuan dari Jepang dan Amerika Serikat,
industri Korea Selatan menempatkan industry otomotif sebagai tulang
punggung perekonomian. Sejalan dengan keputusan tersebut, dibentuk
berbagai badan untuk melancarkan dan mengawasi proses industrialisasi.
Dari diskusi yang berjalan, Alfian menekankan pentingnya peran
pemerintah terhadap kemajuan industri suatu negara. Sinergi antara
pemerintah dan para pelaku usaha sangat diperlukan untuk mendorong
industri dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk dari negara
lain.
Keterangan foto: Alfian sedang menjawab pertanyaan peserta diskusi
Pemakalah: Alfian Eikman
Disadur oleh: Vinie Puspaningrum
Foto: Dimas
Catatan: CwtsPspd UGM
tiap Senin seminggu sekali
mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi
pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema
perdagangan internasional. Silakan menghubungi Vinie
untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara
diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta
mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM
.
SUMBER : http://cwts.ugm.ac.id/2013/03/kemajuan-industri-otomobil-korea-selatan-studi-kasus-hyundai-motor-company/