Khamis, 2 Mei 2013

Kemajuan Industri Otomobil Korea Selatan: Studi Kasus Hyundai Motor Company

Analisa Global Value Chain merupakan alat analisis yang fokus pada dinamisasi hubungan antara aktor dalam proses produksi, terutama melihat pada bagaimana aktor perusahaan dan negara terintegrasi secara global  (Kaplinsky & Morris, 2000, hal. 2). Alat analisa ini dipilih untuk menjelaskan proses kemajuan industrialisasi Korea Selatan karena industri otomotif merupakan industri yang memiliki keterkaitan dengan banyak industri lain. GVC meletakkan fokus analisa ke berbagai actor baik dalam dan luar negeri sehingga peserta dapat memahami sejarah dan proses manufaktur dari Hyundai yang dikenal masyarakat menjadi satu rangkaian mobil seperti yang kita lihat di jalan di sekitar kita. Dengan Global Value Chain, kita dimungkinkan untuk mengamati bagaimana konsep Rent, Governance dan Upgrading tercermin di kebijakan-kebijakan pemerintah Korea Selatan. Rent terlihat jelas dalam financial aid, kebijakan berorientasi ekspor, pembatasan impor dan kontrol investasi asing.
Komponen GVC yang kedua ialah Governance, dalam hal ini merupakan pola hubungan yang terjadi dalam proses kemajuan industri Korea Selatan. Di sini mekanisme pasar dan peran pemerintah memegang peran penting dalam tata kelola sistem produksi. Terdapat urutan perimbangan kekuasaan dalam Governance. Makin besar kekuatan pasar, makin kecil koordinasi yang terjadi dengan pemerintah. Sebaliknya, makin bersifat hierarki, makin kuat koordinasi maka makin kuat pula peran pemerintah.
Yang ketiga adalah Upgrading, merupakan usaha yang dilakukan pelaku bisnis lokal untuk meningkatkan kualitas produksi dan efisiensi. Ada berbagai macam Upgrading, yaitu process upgrading; peningkatan efisiensi proses produksi, product upgrading; memperkenalkan produk baru atau peningkatan dari produk yang sudah ada, functional upgrading; perluasan aktivitas guna menambah nilai tambah, dan chain upgrading; pindah ke mata rantai yang lain (Kaplinsky & Morris, 2000, hal. 37-42). Ada empat tahapan yang dilalui oleh Hyundai sehingga mandiri memproduksi otomotif. Tahap pertama (1962-1967), memproduksi mobil dengan kandungan lokal hampir nol, teknologi dan parts dipasok dengan melakukan joint venture dan foreign license. Tahap kedua (1968-1974), memproduksi Ford Cortina dengan 21 persen kandungan lokal. Tahap ketiga (1975-1981), Kandungan lokal meningkat hingga mencapai 85 persen. Tahap keempat (1982-1996), mulai memproduksi mobil sendiri dengan dukungan in house R&D, dan mulai mengekspor Excel ke Amerika. Dari tahapan diatas dapat dilihat bahwa Hyundai melakukan perluasan aktivitas guna menambah nilai tambah yang merupakan functional upgrading , dimana pada awalnya Hyundai hanya menjadi perakit kemudian berkembang memproduksi mobil sendiri dengan memperluas aktivitas ke pekerjaan desain dan lain-lain.
Dengan ketiga komponen Global Value Chain, para peserta diajak mempelajari proses Hyundai dalam menikmati keuntungan dari kebijakan pemerintah. Pembangunan infrastruktur dan jaringan komunikasi adalah dua kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah agar proses produksi Hyundai menjadi murah dan efisien. Kontrol atas investasi asing dan pembatasan impor mendorong perkembangan dan kemajuan Hyundai sebagai produsen otomotif lokal. Masuknya perusahaan Amerika Ford mobil ke Korea Selatan juga menjadi sarana pertukaran informasi teknologi yang mampu dimanfaatkan oleh Hyundai.
Dilihat dari bentuk tata kelola industri otomobil yang terjadi, Korea Selatan memiliki pola yang relational. Pada awal berdirinya Hyundai, kebijakan pengaturan kandungan lokal 90 persen dan upaya pemerintah untuk memberdayakan pengusaha lokal menentukan bentuk tata kelola atau governance dalam rantai produksi industri otomobil di Korea Selatan. Selain itu, kultur pengusaha lokal dalam menjalin kerjasama bisnis didasarkan atas hubungan kekerabatan yang biasa disebut chaebol. Kedua hal tersebut mengakibatkan pola governance yang terjadi dalam proses rantai produksi Hyundai menjadi pola interaksi yang relational karena didasarkan pada kedekatan sosial. Fasilitas produksi Hyundai dibangun oleh perusahaan konstruksi chaebol. Mobil produksi Hyundai menggunakan aluminium, cat dan kaca otomotif yang disupply oleh chaebol dan pengirimannya ke luar negeri dengan menggunakan asuransi perusahaan chaebol dan kapal yang dibuat oleh perusahaan kapal milik Hyundai (Green, 1992, hal. 423). Dengan pola ini, harga produk dapat disesuaikan dengan cara mengalokasikan dana dari subsidiaries yang mendapat profit digunakan untuk mensubsidi yang merugi.
Krisis Ekonomi Asia 1997, pola tata kelola atau governance dalam proses rantai produksi Hyundai mengalami pergeseran. Krisis memaksa Hyundai untuk melakukan efisiensi pada proses produksi.melakukan standardisasi assembly produk sehingga sparepart Hyundai berspesifikasi umum. Perubahan ini juga berdampak pada governance Korea Selatan yang sebelumnya berpola hierarki menjadi modular. Bersamaan dengan perubahan tersebut, otomatis terjadi juga upgrading karena perubahan pola dari hierarki ke modular menghemat biaya produksi.
Becermin dari proses industrialisasi Korea Selatan, pertanyaan yang muncul dari peserta ialah bagaimana Indonesia dapat belajar untuk menciptakan iklim usaha dan produksi dalam negeri yang mendukung seperti mobil Esemka? Lebih lanjut lagi, bagaimana proses pemasaran yang dapat dicontoh? Dari dua pertanyaan yang muncul dari peserta diskusi, Alfian berusaha menjawab dengan format yang sama, yaitu peran pemerintah yang sangat diperlukan untuk bersaing dengan kompetitor dari luar. Mengambil contoh Hyundai yang diuntungkan dengan pola hirarki dalam konsep Governance dan perumusan kebijakan yang tepat, pemerintah Indonesia dapat belajar dari tiap konsep yang telah dijelaskan. Harus ada sinergi yang tercipta antara pemerintah dan pelaku usaha. Dari segi marketing, kualitas menjadi poin yang harus dipertimbangkan karena pemasaran secara global berarti siap dengan kualitas yang bersaing dengan pelaku usaha otomotif lainnya. Pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah tentang bantuan terhadap pemerintah Korea Selatan. Sempat terkena krisis yang parah, negara kecil seperti Korea Selatan yang saat itu baru pulih dari perang saudara, tentu memerlukan bantuan untuk menghidupkan kembali industri dalam negeri. Menerima bantuan dari Jepang dan Amerika Serikat, industri Korea Selatan menempatkan industry otomotif sebagai tulang punggung perekonomian. Sejalan dengan keputusan tersebut, dibentuk berbagai badan untuk melancarkan dan mengawasi proses industrialisasi.
Dari diskusi yang berjalan, Alfian menekankan pentingnya peran pemerintah terhadap kemajuan industri suatu negara. Sinergi antara pemerintah dan para pelaku usaha sangat diperlukan untuk mendorong industri dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk dari negara lain.
Keterangan foto: Alfian sedang menjawab pertanyaan peserta diskusi
Pemakalah: Alfian Eikman
Disadur oleh: Vinie Puspaningrum
Foto: Dimas
Catatan: CwtsPspd UGM tiap Senin seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema perdagangan internasional. Silakan menghubungi Vinie untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM.

SUMBER : http://cwts.ugm.ac.id/2013/03/kemajuan-industri-otomobil-korea-selatan-studi-kasus-hyundai-motor-company/

Tiada ulasan:

Catat Ulasan